Rabu, 24 Maret 2010

Perjalanan Iman Cak Mul

Perjalanan Iman Cak Mul

Ayahnya seorang abangan penggemar keris yang menurut ingatan Cak Mul ayah jarang menjalankan salat lima waktu. Di kota kecil Jombang Jawa Timur pada tahun 1965 abangan identik dengan PNI atau PKI, sedangkan kaum santri identik dengan NU atau Muhamadiyah. Pada jaman itu gerakan masa membabat habis pengikut PKI atau hanya karena dendam pribadi yang tak terkait PKI bisa dengan mudah diciduk untuk dilenyapkan. Tahun-tahun itu memang suasana mencekam karena takut dituduh PKI. Agar terlihat santri sang ayah menyamar menjadi orang alim dadakan dengan rajin ke langgar atau mushola setiap salat Maghrib .

Berbeda dengan latar belakang ibu Cak Mul berasal dari keluarga taat beragama. Ibu tidak mengajarkan secara khusus cara salat kepadanya, tapi hanya memberi contoh sikap hidup yang baik, menghormati semua tetangga meskipun berbeda keyakinan. Ibu seorang bakulan pasar (pedagang kecil) kain batik dan handuk keliling antar Desa. Pergaulan dengan aneka ragam latar belakang agama dan keyakinan dengan orang-orang pasar membentuk sikap Ibu Cak Mul terbiasa menerima kemajemukan. Ketika Hari Raya Idhul Fitri yang dalam bahasa Jawatimuran disebut riyoyoan, rumahnya selalu mendapat kunjungan dari keluarga yang berbeda agama penganut Kristen Jawi Wetan. Dalam suasana riyoyoan acara salam-salaman, ngobrol ringan soal keluarga atau bicara apapun tanpa ada sekat, cair dan menyenangkan. Begitu pula pada bulan Desember, ibu Cak Mul menyempatkan datang ke rumah teman-temannya yang beragama Kristen untuk sekedar salam-salaman selamat Natal.

Dengan demikian Cak Mul belajar kemajemukan masyarakat merupakan hal biasa yang dibina semenjak kecil termasuk cara belajar beragama. Belajar salat Cak Mul diawali dari adik ibu yaitu Bu Lik (Bibik) ketika masih SD kelas III. Selama satu tahun Cak Mul mengikuti Bu Lik di kota kecil Ponorogo. Bu Lik seorang pengurus Muhamadiyah mengajarkan salat dengan menyisipkan bahasa Jawa. Sembayang ia gunakan untuk kata salat. Bacaan doa dalam setiap rukun salat menurut Bu Lik tidak perlu harus hafal seluruh, tapi cukup hafal sedikit sudah boleh bagi anak kecil. Yang utama, menjalankan salat dulu nanti kalau sudah mulai hafal semua, wajib membaca doa dalam setiap rukun salat.

Ia belajar agama tidak di sekolah madarasah atau mengaji pada guru agama, tetapi melalui bacaan ayat-ayat pendek dengan huruf latin. Akibatnya Ia menjadi seorang buta huruf dalam bahasa Arab. Cak Mul kecil rajin menjalankan salat lima waktu hingga dewasa. Ya kadang ada kalanya masih bolong Subuh dan Ishak tidak salat. Meskipun demikian banyak juga teman-teman pesantrennya yang merangkap sekolah SMP tidak menjalankan sholat dengan tertin. Sami mawon pikir Cak Mul.

Ketika masih remaja Ia aktif membantu kegiatan mesjid siang, malam. Mengurusi kebersihan, mengedarkan kotak amal setiap Jum’at sampai sebagai panitia zakat, malam takbiran dan panitia Qurban. Tatkala itu ia sedang mengepel lantai melihat seorang pengurus mesjid menilep sebagian uang zakat. Cak Mul tidak bisa menerima kenyataan itu. Uang untuk fakir – miskin ditilep tokoh mesjid? Lho, ini bagaimana ? Ini membohongi santri, kok tega amat. Apakah ia harus ikutan menjadi anggota penilep uang zakat? Pertanyaan itu mengguncang perasaannya, ini tidak adil.

Sejak itu arek Jawa Timur ini tidak mau mengikuti kegiatan mesjid. Ia marah. Apa gunanya belajar agama jika bertingkah laku seperti maling. Itu namanya berkhianat terhadap ajaran agama. Pengurus mesjid yang menilep uang zakat itu sudah kering batinnya. Kalau begitu Tuhan sudah tidak berpihak kepada para fakir miskin, pikir Cak Mul. Ya, sudah sekarang tidak salat, asalkan berbuat baik kepada setiap orang.

Berhari-hari, berbulan-bulan Cak Mul meninggalkan kewajiban salat lima waktu. Ia benci pada pengurus mesjid. Dalam keadaan dendam itu, Ia terkena musibah menghilangkan barang berharga milik sahabatnya. Kata pepatah ibarat jatuh tertimpa tangga. Ia sangat gelisah karena tidak mampu mengganti dalam bentuk barang maupun uang. Dari kegelisahan dan ketakutan Cak Mul melakukan upaya salat malam, dan kembali salat wajib yang sudah ditinggal. Pokok doanya memohon dirinya mendapat ketenangan. Dalam setiap salat ia berulang-ulang mengucapkan surat Al-Fatikah berikut artinya dalam bahasa Jawa.

Dorongan ingin mengadu kepada Tuhan melalui bahasanya sendiri yaitu bahasa Jawa, ia sangat bisa menghayati dari isi doa. Menurutnya isi doa ini sangat membela dirinya dan memberikan jalan keluar dari kesulitan, ada rasa kedekatan dengan Tuhan. Lantaran muncul rasa dekat dengan Tuhan saat salat, ia merasakan tidak ada kebosanan dan tidak ingin berhenti. Terus ingin salat.

Kedekatan Cak Mul dengan Tuhan ini sangat berlawanan ketika ia masih membenci pengurus mesjid. Tuhan yang semula ia curigai, maka sekarang begitu dekat. Ini bentuk pasang surut perjalanan keimanan Cak Mul, kadang dekat, menjauh, dibawah, atau diatas, kadang datar, berlawanan arah sampai kembali dekat lagi. Siapapun akan mengalami seperti Cak Mul, perjalanan iman demikian tidak biasa dicampuri dai luar. Ia berada diwilayah pribadi. Seperti ayahnya juga mengalami hal yang sama dengan mempercayai keris yang bisa menduakan Tuhan, namun dalam perjalanan hidupnya sang ayah memperoleh hidayah dengan kembali sholat menurut caranya sendiri.


Versi depok, 25 maret 2010.

1 komentar: